THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Find Blog

Sabtu, 09 Januari 2010

P3GL Upayakan Percepatan Eksplorasi Sumber Migas

Mengingat sekitar 70% potensi migas Indonesia terdapat di lepas pantai dan lebih dari separuhnya terletak di laut dalam, pemerintah melalui Peraturan Menteri ESDM No. 0030 tahun 2005 mengukuhkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL) sebagai institusi penunjang dalam penyediaan data klaim atas wilayah landas kontinen dan peningkatan status cekungan migas di laut.

Dalam upaya turut meningkatkan investasi sektor ESDM, P3GL mengemban tugas melakukan eksplorasi sumber-sumber minyak baru di lepas pantai untuk memenuhi kuota produksi minyak nasional dan pemberdayaan kemampuan survei dalam negeri dalam upaya melepaskan ketergantungan survei oleh pihak asing.

Kebijakan DESDM dalam upaya menemukan sumber-sumber migas baru adalah dengan meningkatkan kemampuan survei, eksplorasi dan penerapan teknologi institusi kelautan dalam negeri. Dengan memberdayakan institusi dalam negeri maka kegiatan-kegiatan survei geologi kelautan dapat diambil alih sehingga cost recovery kontraktor asing yang menjadi beban pemerintah dapat dihemat menjadi penerimaan Negara yang cukup signifikan.

P3GL telah banyak melakukan penelitian dan pengembangan bidang geologi kelautan di seluruh wilayah Indonesia dengan prioritas kegiatan melakukan penelitian dan pengembangan di kawasan pantai/laut, juga pengembangan pelayanan riset dan teknologi. Salah satunya dengan melakukan eksplorasi dan utilisasi potensi sumber-sumber gas biogenik atau gas methana di perairan dangkal sebagai sumber energi alternatif masyarakat kawasan pantai terpencil dan upaya antisipasi kelangkaan energi migas di masa yg akan datang.

Mungkinkah Indonesia meninggalkan pola "Production sharing" (KPS) ?



Dalam beberapa bulan terakhir ini saya kebetulan mendapat kesempatan untuk mengunjungi beberapa negara karena sedang mengerjakan beberapa proyek disana dan juga mengejar proyek-proyek baru di luar negeri. Saya sempat ke Brunei, karena kami sedang mengerjakan proyek Methanol milik pemerintah Brunei disana. Dari Brunei saya menyeberang ke Serawak untuk melihat pengerjaan team kami di proyek Crude oil terminal milik Petronas di Miri . Kami juga sedang mengejar Proyek Gas terminal di Sabah (salah satu negara bagian Malaysia di Serawak). Foto terlampir adalah ilustrasi team proyek kami yang berada di Miri, Serawak. Selain ke negara-negara tersebut, saya juga sempat bolak-balik ke Iran dan juga ke China untuk mengerjakan proyek dan juga mengejar peluang dengan berbagai mitra di negara-negara tersebut.

Dari perjalanan-perjalanan tersebut, ada suatu fakta yang agak “mengganggu” pemikiran saya. Berikut ini fakta tersebut :

* Brunei yang menerapkan pola “production sharing” (KPS) dengan perusahaan Shell Inggris, terlihat rakyatnya tidak terlalu modern (kurang maju)

* Malaysia tidak memberikan kesempatan kepada satupun pihak asing untuk menguasai konsesi kekayaan alam mereka (terutama di Serawak). Mereka tidak menerapkan pola “production sharing” di Serawak. Petronas menguasai seluruh konsesi minyak dan gas di Serawak. Tidak ada satupun negara asing yang boleh memiliki konsesi minyak ataupun gas di Serawak (juga lahan kelapa sawit).

* Iran mengembangkan industri energy (petrokimia), dan industri upstreamnya secara mandiri. Mereka mengembangkan industri kilang gas alam, kilang minyak, kimia dan petrokimia sepanjang ratusan kilometer dengan pemilik konsesi sumber daya alamnya adalah perusahaan BUMN Iran (tidak ada pihak asing).

* Seluruh konsesi batu bara di China dimiliki oleh perusahaan-perusahaan propinsi (BUMD) dan juga BUMN di China. Tidak ada satupun pihak asing yang menguasai konsesi batubara tersebut. China juga tidak memperkenankan satupun perusahaan asing untuk melakukan “production sharing”.

Salah satu kesedihan saya akhir-akhir ini adalah membaca Peraturan Pemerintah no:57 tahun 2007 tentang Panas bumi. Aturan dan tata caranya sama persis dengan tata cara kepemilikan konsesi batu bara. Jadi mungkin tidak terlalu lama lagi, maka konsesi panas bumi akan dimiliki oleh pihak asing & dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk keuntungan pihak asing. Padahal Pasal 33 ayat 3 tidak pernah berubah bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalammya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Saya saat ini mulai memikirkan apakah pola “production sharing” (KPS) dengan pihak asing di industri minyak, gas dan tambang sebaiknya mulai ditinggalkan oleh Indonesia ?. Pola KPS ini memang diperlukan oleh Indonesia disaat kita belum menguasai teknologinya dan juga tidak memiliki dana untuk explorasi maupun exploitasinya. Namun dengan semakin majunya kemampuan teknolog Indonesia dan juga tersedianya dana di pemerintahan baik berupa APBN dan APBD, seharusnya biaya explorasi dapat dibiayai oleh Pemda ataupun Pemerintah pusat. Sehingga APBN, APBD & PAD (pendapatan asli daerah) tidak hanya disimpan di SBI atau digunakan untuk proyek-proyek yang return-nya tidak jelas.